Senin, 28 Januari 2019

Suatu Senja Di Tebing Breksi

Puncak Tebing Breksi
Senja Di Tebing Breksi


Berlibur ke Yogyakarta sepertinya belum lengkap jika belum menginjakkan kaki di Tebing Breksi. Tebing ini  dulunya merupakan tambang batu breksi yang menjadi pendapatan warga sekitar, namun pada tahun 2015 Sri Sultan Hamengku Buwono X menandatangani prasasti yang mengatakan Tebing Breksi merupakan cagar budaya.

Tebing Breksi ini terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Lokasi ini juga berdekatan dengan Candi Ijo yang merupakan candi tertinggi di Yogyakarta, namun pada waktu itu kami hanya menginjakkan kaki di Tebing Breksi karena hari yang sudah malam membuat kami tidak sempat untuk menginjakkan kaki di Candi Ijo.

Tebing Breksi yang merupakan cagar budaya dan wisata alam ini sangat cocok bagi yang hobby berfoto mengabadikan momen-momen terbaiknya. Banyak spot foto menarik yang bisa kita ambil dari lensa kamera handphone, pengelola menyediakan beberapa spot foto yang dibuat sedemikian rupa di puncak Tebing Breksi untuk membuat hasil jepretan foto menjadi sangat menarik, bahkan pihak pengelola pun menyediakan beberapa orang khusus sebagai jasa foto di lokasi ini tanpa ada tarif khusus, hanya uang sukarela dari kita saat kita menggunakan jasa mereka untuk mengabadikan momen. Uang sukarela itu bisa langsung kita masukan ke dalam sejenis kotak kecil yang ada di tempat tersebut.

Tangga Tebing Breksi
Kami tiba di lokasi sudah hampir lewat senja, para pengunjungpun memenuhi Tebing Breksi mulai dari bawah sampai puncak di penuhi para pengunjung. Kami pun tak mau ketinggalan, turun dari mobil kami langsung naik ke puncak Tebing Breksi, langsung mengambil spot foto terbaik dengan gaya masing-masing yang tentunya tidak kalah kece dengan yang lain.

Puas berfoto-foto ria, sang sunset pun mulai tiba. Berada di puncak Tebing Breksi melihat sunset dengan jarak yang lebih dekat membuat kami takjub, oh Tuhan sungguh indah kuasaMu. Tidak hanya sunset, Yogyakarta dari ketinggian juga terlihat begitu indah, kelap-kelip lampu di setiap sudut menambah keindahan kota ini.

Tidak terasa hari mulai gelap, suara adzan dari mushola yang berada dibawah terdengar jelas. Kami bergegas turun dan menuju mushola untuk sholat magrib. Dan aktifitas kami di Tebing Breksi pun berakhir usai menunaikan sholat magrib dan menikmati sedikit gorengan panas dan es teh manis, lalu kami menuju mobil dan melanjutkan perjalanan berikutnya.

Di Tebing Breksi ini salah satu tempat dimana aku salah pesan minum, mau pesan es teh tapi bilangnya teh o ais.

Sabtu, 26 Januari 2019

Yogyakarta Istimewa

Terminal Tun Aminah, Skudai.
4 hari 3 malam di Jogja membuat kita takjub akan keindahan Indonesia. Wajar jika Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia. Karena selain menyimpan banyak keindahan alam, adat dan budayanya juga menjadi keunikan tersendiri.

Perjalanan itu dimulai pada hari jumat malam, saya, Rusli, Masito, Cici, Tuti, Esti dan Vina berangkat ke Yogyakarta via Kuala Lumpur. Dari Johor Bahru kami memilih transportasi darat untuk sampai ke Kuala Lumpur. Pak Taufik, Staff Teknis Polri KJRI Johor Bahru melepas keberangkatan kami di Terminal Tun Aminah, Skudai.

Kuala Lumpur International Airport 2
Menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam, sekitar 3:30 pagi kami sampai di Kuala Lumpur International Airport 2 (KLIA2). Sesampainya disana kami langsung menuju kamar kecil untuk membuang hajat, setelah itu sambil menunggu waktu boarding kami mengisi bahan bakar (sarapan) di salah satu kedai Indonesia yang ada di dalam KLIA2. Perut sudah terisi, mata yang tadinya mengantuk pun sudah mulai segar. Ketika melihat jam, waktu menunjukan untuk sholat subuh. Sebagian dari kami pun (kecuali perempuan yang berhalangan) bergegas mencari mushola untuk sholat subuh berjamaah.

Waktu setempat menunjukkan jam 7 lebih, kami bersiap-siap untuk boarding. Masuk pintu keberangkatan internasional, lalu kami pun antri dengan teratur untuk pengecekan imigrasi dan kemudian kami duduk manis di ruang tunggu gate 11 sambil menunggu waktu check in.

Tepat jam 10:00 waktu Malaysia pesawat yang kami tumpangi lepas landas dari Kuala Lumpur International Airport. Berada atas ketinggian sekitar 3000 kaki selama kurang lebih 2 jam, pesawat pun mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Adisutjipto Yogyakarta. Sesampainya di Yogyakarta, nuansa jawa pun sangat terasa ketika terdengar musik tradisional, announcement atau pengumuman di bandara ini menjadikan sesuatu yang unik dibandingkan bandara lain yaitu pengumuman dengan menggunakan 3 bahasa, Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris.

Terminal Adisutjipto Yogyakarta

Bale Raos Restoran, Keraton Yogyakarta
Setelah melalui proses di imigrasi bandara, Pak Wino, Pak Agus, Abdul dan Echa menyambut kami dengan senyum yang lebar seakan mengisyaratkan sebuah kerinduan. Tanpa babibu yang panjang, kami pun langsung di ajak meluncur ke tempat makan di Bale Raos Restoran di kompleks Keraton Yogyakarta. Pak Agus pemilik Dunia Travel yang juga merupakan eks staff KJRI Johor Bahru menjadi jasa travel kami dan beliau yang akan membawa kami berwisata selama di Yogyakarta. Puas santap siang dengan menu hidangan sultan kami pun di ajak menuju keraton Yogyakarta, namun sayangnya kami sudah telat karena keraton sudah tutup.

Kemudian perjalanan pun di lanjutkan ke Alun-alun Kidul, disana terdapat sebuah pohon kembar yang konon katanya kalau kita dengan menutup mata bisa berjalan lurus sampai ketengah-tengah pohon maka permintaan kita akan terkabul. Kami pun penasaran dan lalu mencobanya, alhasil 9 dari kami yang mencoba hanya 2 orang yang berhasil berjalan lurus sampai ketengah-tengah kedua pohon kembar itu, selebihnya ada yang serong kanan dan serong kiri.

Hari pun mulai sore, kami beranjak pergi dari Alun-alun Kidul menuju Kirana Guest House tempat kami menginap yang terletak tidak jauh dari Malioboro. Pak Agus langsung tancap menggunakan mobil yang bermuatan lebih 10 orang itu menyusuri jalanan Yogyakarta dengan lancar sehingga kami selamat sampai di penginapan. Sesampainya di penginapan kami istirahat sejenak, mandi dan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan sore sampai malam ke destinasi berikutnya.

Tebing Breksi
Perjalanan pun dilanjutkan menuju Tebing Breksi, sebuah objek wisata alam yang sangat menarik untuk melihat sunset dan Kota Yogyakarta dari ketiggian. Sesampainya disana kami pun tak ketinggalan mengabadikan momen-momen terbaik, menyaksikan sunset secara dekat dan melihat Kota Yogyakarta dari ketinggian. Sungguh indah ciptaanMu Tuhan, Subhanallah.

Puas disana dan setelah sholat magrib, Pak Wino dan Pak Agus pun mengajak kami melanjutkan ke tempat makan di Sate Klatak. Sebuah restoran yang menjual sate kambing yang terkenal kelezatannya. Untuk dapat menikmati Sate Klatak kami harus menunggu hingga lebih dari 1 jam, karena banyaknya pengunjungan memesan menu ini.

Perut yang kenyang tak membuat kami malas melanjutkan perjalanan, lanjut terus jangan kasih kendor. Destinasi berikutnya kami dibawa ke Malioboro, ya Malioboro yang terkenal sebagai tempat yang wajib di kunjungi di Yogyakarta. Malioboro adalah nama jalan yang sangat terkenal dengan para pedagang kaki lima yang menjajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan di malam hari yang menjual makanan gudeg Jogja serta terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman yang sering mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art dan lain-lain di sepanjang jalan ini. Setiap malam Malioboro tidak pernah sepi, mulai dari anak-anak hingga dewasa serta orang tua, dan mulai dari warga lokal hingga warga luar Jogja selalu memenuhi kawasan ini. Hal itu yang membuat Malioboro menjadi salah satu tempat yang wajib di kunjungi.

Malioboro
Sesampainya di Malioboro kami langsung turun dari mobil dan langsung berjalan menyusuri jalanan Malioboro. Ada yang beli ini beli itu, ada yang kesana dan ada yang kesitu hingga pada akhirnya jam menunjukkan pukul 2 pagi dan kami yang awalnya terpencar kemudian berkumpul di Tugu 0KM untuk menunggu jemputan Pak Agus.

Tanpa disadari, rasa lelah itu seperti tidak begitu terasa. Di mulai dari KLIA2, lalu berkeliling Yogyakarta dan finish di Malioboro.
Bersambung.......

Menginjakkan Kaki Di Candi Prambanan


Menginjakkan Kaki Di Candi Prambanan.
Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang adalah salah satu kompleks candi Hindu terbesar di Indonesia yang dibangun pada abad ke-9 masehi. Candi ini dipersembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu yaitu Brahma sebagai dewa pencipta, Wishnu  sebagai dewa pemelihara, dan Siwa sebagai dewa pemusnah. Berdasarkan prasasti Siwagrha nama asli kompleks candi ini adalah Siwagrha (bahasa Sanskerta  yang bermakna 'Rumah Siwa'), dan memang di garbagriha (ruang utama) candi ini bersemayam arca Siwa Mahadewa setinggi tiga meter yang menujukkan bahwa di candi ini dewa Siwa lebih diutamakan. (wikipedia)
Pada 23/01/2019 berkesempatan menginjakkan kaki di candi ini bersama teman-teman Paskibra KJRI Johor Bahru. Sebuah kesempatan berharga dapat melihat secara langsung peninggalan sejarah yang menjadi destinasi wisata di Yogyakarta. Candi Prambanan yang terletak di Kabupaten Sleman, Yogyakarta pernah terkena dampak gempa bumi pada tahun 2010 yang mengakibatkan beberapa bagian candi hancur, namun bekas hancuran candi tetap diletakan pada posisi yang sama.

Suara gamelan yang terdengar disetiap sudut seakan menyambut kedatangan kami dan para wisata yang berkunjung ke Candi Prambanan ini. Kami berjalan semakin dekat menuju candi yg memiliki luas sekitar 110 m x 110 m ini. Melihat keajaiban ini secara dekat membuat aku takjub, bagaimana orang-orang pada abad ke-9 yang masih hidup di zaman batu, jauh dari teknologi yang serba canggih seperti di zaman modern ini namun bisa menghasilkan sebuah karya yang luar biasa yang bertahan hingga ribuan tahun.

Puas melihat secara langsung dan mengelilingi Candi Prambanan kami pun bergegas melangkahkan kaki langkah demi langkah meninggalkan candi ini. Perlu menempuh jarak sekitar 2km untuk keluar kompleks candi ini, tepat berdekatan dengan pintu keluar puluhan penjual makanan dan minuman berlomba-lomba menawarkan jualannya masing-masing kepada para pengunjung. Ini lah yang disebut suatu kesatuan antara wisata dan ekonomi masyarakat, bahwa apapun jenis wisatanya tentu tidak dapat terlepas dari ekonomi masyarakat yang selalu setia menopang dunia pariwisata. Dunia pariwisata tanpa ekonomi masyarakat bagaikan sayur tanpa garam.